Minggu, 20 Januari 2008

Senja Merah Jambu Untuk Pacarku

Sinar matahari mulai menyengat tubuhku meskipun aku sudah mengenakan topi. Di sekelilingku hanya laut yang bergolak. Membenturkan riaknya pada badan perahu cadikku. Aku terus mengayuh dayung kearah barat. Menuju tempat dimana beberapa jam lagi matahari seakan meleleh membaur dengan awan awan. Senja. Aku sedang menanti senja. Melihat sedekat dekatnya, tapi aku tidak sedang ingin memotongnya dan menyimpan dalam sebuah amplop surat(*). Tidak. Aku hanya ingin memberikan sedikit sentuhan warna. Merah jambu. Aku akan mengubah senja menjadi merah jambu. Alasannya gampang saja. Karena pacarku menyukai warna merah jambu.

Sehari yang lalu ia berulang tahun dan sebagai seorang pacar yang baik aku hendak memberikan kado yang lain dari pada yang lain. Sebuah senja merah jambu mungkin kado yang pas, secara ia begitu menggemari warna itu. Tidak ada bagian dari dirinya yang tidak bernuansa merah jambu. Entah itu rambutnya, bajunya, celananya, bahkan mungkin celana dalamnya. Merah jambu.
Maka aku sekarang berada disini. Di kelilingi air. Mengayuh pelan pelan dayung kayu menuju kearah matahari akan melelehkan jingganya.Aku meraba sebuah pilok warna merah jambu di tas pinggangku. Tersenyum membayangkan wajah pacarku yang akan berseri seri ketika kupersembahkan kado ini untuknya.

Akhirnya aku melepas topiku, mengipaskannya ke wajahku berulang kali sampai aku merasa panas yang mendera agak sedikit menghilang. Cahaya matahari yang menghampar di permukaan air selayak permadani perak yang berkilauan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa apakah ada tanda tanda kehidupan selain aku. Dikejauhan aku melihat sebuah titik hitam yang bergerak gerak. Meskipun hanya sebuah titik, aku yakin bahwa itu sebuah perahu hanya yang aku tidak tahu itu perahu siapa dan apa tujuannya mengarungi laut sejauh ini. Tapi aku segera melupakan titik hitam itu, karena aku segera disibukkan oleh gejolak perutku yang keroncongan.

Memikirkan kado ini membuatku lupa segalanya. Antara bersemangat dan ketakutan seandainya aku tidak bisa mewujudkannya. Aku menyisir setiap bagian perahu hanya untuk menemukan kenyataan bahwa aku sama sekali tidak membawa makanan atau pun minuman. Ini tidak baik.
Aku membuka tas pinggangku dan hanya menemukan sebuah pilok merah jambu, meraba raba saku celana bagian belakang, sebuah dompet, tentu saja, meraba saku celana samping, beberapa uang receh dan sebuah Handphone.
Menemukan Handphone membuat harapan yang menguap turun kembali menjadi hujan yang menyejukkan. Aku tertolong. Aku tidak akan kelaparan.Aku segera menghubungi restoran fast food yang menyediakan delivery order., lalu menyebutkan menu apa saja yang akan kupesan. Ketika aku ditanya akan diantar kemana pesananku, sejenak aku terdiam, memeikirkan dimana aku sekarang.

“Di laut.” Jawabku. Tidak ada kata kata yang terdengar, mungkin orang itu kebingungan. Akhirnya ku berkata lagi, bermaksud untuk memperjelas.
“Laut Jawa. Pergilah kearah matahari tenggelam, nanti kau akan melihat perahu cadik berwarna hijau. Aku sendiri memakai baju warna kuning, dan juga, ehm..topi, yah betul , topi warna hitam.”
Kemudian orang itu mengakhiri pembicaraan kami setelah mengulang kembali apa yang sudah aku pesan.

Aku membaringkan tubuhku sembari menunggu pesananku datang. Melihat lihat isi Handphone, membuka inbox, membaca sms sms dari pacarku. Semuanya itu membuatku melupakan sejenak akan rasa lapar dan panas matahari.
Tidak begitu lama kemudian aku mendengar suara helicopter. Aku berdiri dan melihat helicopter merah dengan garis orange bertulisakan nama restoran tempat aku memesan makanan mendekat. Aku melambaikan tanganku berkali kali.Sebuah tangga terulur dari helicopter itu, kemudian turunlah seseorang memakai seragam yang berwarna sama dengan helicopter itu. Di tangannya memegang kantong plasitk. Makananku.

Aku lalu memakan dengan lahap dan tidak menyisakan apapun selain tulang. Aku merasakan badanku segar kembali. Segera kuambil dayung dan mengayuh kuat kuat kearah matahari tenggelam. Aku harus merubah warna matahari sekarang, biar esok bisa menjadi senja yang kuinginkan. Senja merah jambu.Diatas, matahari mulai tergelincir.

-
Sewaktu kecil aku menyukai sirop jeruk karena rasanya yang manis serta waarnanya yang menarik. Biasanya ibuku menuangkannya ke dalam cangkir porselen warna putih kesukaanku. Sebelum aku meminumnya, aku akan memandang sejenak kearah permukaan sirop yang jingga itu, dan mengkhayalkan seandainya saat itu aku mengecil dan tercemplung masuk kedalam cangkir, kemudian aku akan berenang di lautan jingga yang manis.

Dan sekarang, diatas perahu cadik ini khayalan masa kecilku kembali menyeruak. Aku benar benar berada di lautan jingga bercahaya. Dengan awan yang menggantung persis diatas kepalaku. Disepuh warna jingga dan sedikit ungu. Di depanku, matahari seperti keju yang kelebihan zat pewarna, meleleh mengalir ke laut. Desir angin membelai tubuhku. Agak sedikit dingin, sebab sebongkah awan mungkin ikut menggelayut.Aku benar benar berada di depan senja. Senja yang setiap sore menginitp rasa ketakjubanku.

Lalu, aku teringat akan tujuanku. Membuka tas pinggang, aku mengeluarkan pilok merah jambuku. Mengocoknya perlahan, menikmati denting kasar kelerang yang ada di dalamnya. Plok, plok, plok, plok.Aku mengayuh perahuku mendekat kearah matahari, berhenti menyamping di depannya.. Inti dari senja adalah matahari, jika ingin mengubah senja, mulailah dari matahari.Aku berada persis didepan matahari sekarang. Memberikan penghormatan terakhir pada senja yang jingga. Lalu tangan kananku terulur, bersiap menyapukan seluruh isi pilok ke dalam matahari. Dan kudengar seorang laki laki seperti aku berteriak.

“Tunggu!”Aku menoleh kearah suara tersebut. Sebuah perahu meluncur dengan cepat kearahku, dengan seorang laki laki didalamnya.
“Ada apa?” Tanyaku sesudah laki laki itu berada di dekatku.
“Jangan. Tidak boleh.” Katanya.
“Apa. Apa yang tidak boleh”
“Itu. Pilok itu. Aku tahu apa yang akan kamu lakukan.” Nafas memburu terdengar dari setiap kata yang ia ucapkan.
“Memangnya apa yang aku lakukan?”
Laki laki itu merogoh saku jaketnya yang tampak kebesaran itu lalu mengeluarkan sebuah tabung kecil, berwarna biru. “Sama, seperti yang akan kamu lakukan. Hanya saja dengan warna yang berbeda.”

Mata laki laki itu menyorot tajam kearahku yang membuat aku menjadi kesal, ditambah lagi setelah mengetahui apa tujuannya kemari. Tujuan yang berarti menggagalkan tujuanku.
Sebelum sempat aku berpikir apa yang akan sebaiknya aku lakukan, laki laki itu melompat ke dalam perahuku, berusaha merampas pilok di tanganku. Aku berusaha melawan, tapi karena serangannya yang tiba tiba di tambah dengan perahu yang terlonjak akibat loncatannya, aku terjatuh kedalam perahu. Tangannya yang masih memegang tanganku membuatnya ikut terjatuh diatasku.Sekarang ia menduduki perutku. Tangan kenannya memegang tanganku, dan tangan kirinya mencengkeram leherku kuat kuat, labih tepatnya mencekik.

Dengan menggunakan tangan kiriku yang bebas, aku berusaha melepaskan cekikan tangannya, memukul wajahnya. Ia tetap saja tidak peduli, akhirnya aku pun mencolok matanya dengan jari telunjukku. Ia segera melepaskan cekikkannya dan berteriak kesakitan. Tangannya segera memegangi kedua matanya. Ia melupakan pilok warna birunya. Terjatuh di dalam perahu.

“Mataku! Mataku!” Teriaknya. “Apa yang kau lakukan dengan mataku, bangsat!”
Sambil membetulkan kerah baju dan mengelus elus leher, aku menghampirinya, dan berhasil membuat keadaan menjadi kebalikan dari keadaan pertama yang tidak menguntungkan. Aku duduk diatasnya.“Apa kamu bilang tadi, hah!” Semprotku.

“Bangs..!"
Buk! Aku mendaratkan bogem mentah diwajahnya. “Dengar bung! Aku tidak ada waktu untuk berurusan denganmu. Jadi tolong jangan ganggu aku kali ini. Atau aku akan lebih kasar lagi padamu.”

Aku berdiri. Laki laki itu tampak memegangi mulutnya, dan menyeringai kesakitan.“Aku melakukan itu untuk sebuah alasan.” Katanya.
“Kuharap kamu mempunyai alasan yang cukup bagus.”
“Aku mencintai seorang perempuan.”
“Biru, pasti warna kesukaanya bukan?”Ia menganguk.
“Kamu tahu, aku juga mencintai seorang perempuan.” Kataku.
“Sebentar lagi semua akan terlambat. Matahari akan tenggelam. “ Aku melihat kearah matahari , bulatan jingga terangnya sudah melelah hampir seluruhnya, hanya menyisakan sepertiga bagian lagi.
“Jadi, “ Ia menyingsingkan lengan baju, membusungkan dadanya kearahku. “ antara aku dan kamu. Siapa yang akan menang.”
Aku mengerti situasinya. Ia menantangku berduel dan aku tidak punya pilihan lain. Segera kumasukkan kembali pilok merah jambuku ke dalam tas pinggang. “Bersiaplah. Semoga kamu beruntung.” Kataku.
“Kamu juga.”

-
Merah jambu. Mulanya hanya setitik menyepuh permukaan, lalu membias dengan cepat seperti air di atas kertas tisu. Merah jambu itu akhirnya sampai juga kelaut. Terpancar di awan awan. Pelan namun pasti aku merasakan perubahan itu, jingga tak lagi menyepuh cakrawala, tak lagi tercermin di riak gelombang. Hanya merah jambu.Besok, senja akan berubah untuk selamanya. Senja merah jambu.
Aku meninggalkan tempat itu. Mengayuh perahu dengan dayung yang tinggal setengah, patah. Meninggalkan matahari merah jambu yang esok akan menjadi senja yang merah jambu. Serta meninggalkan seonggok tubuh terapung disamping patahan sebuah dayung.Terkadang, demi cinta aku bisa menjadi apa saja.

(* )Baca cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku - Seno Gumira A

Tidak ada komentar: