Sabtu, 26 Januari 2008

Mereka Ramai Ramai Mengejar Bulan

Pada malam itu bulan yang sedang membulat sempurna itu jatuh, tegak lurus ke tanah, seperti buah kelapa jatuh dari tangkainya, hanya saja yang ini dipoles cahaya jingga pucat sebesar bola basket, bulan itu pertama kali mengenai rumput basah sisa hujan sore tadi, kemudian memantul tinggi hingga jatuh lagi mengenai jalan aspal, memantul lagi dan jatuh lagi di atap rumah, jebol hingga kedalam menimbulkan suara berisik tak terkira, membangunkan penghuni rumah yang segera menyalakan lampu sementara yang lainnya menjerit demi mendapati atap rumahnya jebol atau karena ketakutan melihat benda bulat bersinar yang tentunya tidak ia sadari sebagai bulan, tiba tiba memantul dan menghancurkan lagi atap rumahnya hingga meninggalkan dua lubang
menganga sebesar bola basket dan akibatnya keadaan menjadi ramai karena pemilik rumah tadi segera keluar rumah dan memangggil manggil tetangganya, memanggil polisi, memanggil anjingnya sebelum ia sadar bahwa anjingnya sudah mati seminggu yang lalu dilindas truk, sementara bulan yang salah kaprah itu masih saja memantul mantulkan dirinya sehingga kota yang mulai terlelap itu terbangun kembali, keadaan menjadi kacau lebih kacau daripada kerusuhan yang pernah melanda kota itu sepuluh tahun yang lalu, meskipun mereka akhirnya mereka tahu setelah ada seseorang yang berteriak dan bersumpah bahwa ia melihat dengan runut kejadian yang sebenarnya bahwa bulan telah jatuh, dan mereka serempak melihat kearah langit dan mendapati langit kosong melompong padahal mereka masih ingat bahwa malam itu malam bulan purnama, barulah mereka percaya bahwa benda keparat itu adalah bulan ,benda yang telah begitu lancang melubangi atap rumah mereka, namun sebab amarah sudah mengendap di ubun ubun mereka mulai mengeluarkan segala benda benda yang mereka pikir bisa menghentikan atau menangkap bulan keparat itu, ada yang membawa samurai, golok, dan benda benda sejenis seperti halnya mereka akan bersiap mengganyang bulan keparat itu tanpa sedikitpun menyadari bahwa bulan keparat itu hanyalah benda bulat sebesar bola basket yang jatuh dari langit, bukan manusia yang bisa ditebas atau pun dibacok, tapi siapa peduli, yang ada dipikiran mereka hanyalah bagaimana menangkap lalu mengganyang benda keparat itu.

Pengejaran itu ternyata tidak segampang yang mereka kira, meskipun hampir dipastikan seluruh penghuni kota itu turut serta, dari yang masih balita hingga harus dibopong ibunya, sampai yang menyandang predikat Jompo of the year ikut mengejar meski harus ditandu oleh cucu cucunya yang masih muda dan kekar. Bulan itu masih memantul mantul menimpa apa saja yang dilewati sehingga semakin lama jumlah orang yang mengejar semakin banyak. Bulan itu, dengan segala kekuasaannya telah memantul mantulkan dirinya kesegala arah namun tidak hendak keluar dari kota itu, hanya memutar mutarkan pantulannya, menimpa apa saja yang bisa ditimpa hingga terkadang sebuah rumah bisa tertimpa dua kali bahkan sampai empat kali yang menyebabkan koyak seperti habis diterjang badai paling ganas, dan hal itu membuat mereka semakin kalut dan marah.
Mendekati pagi, daerah pantulan bulan itu tak lagi melulu di lingkungan kota itu, namun perlahan memantul kearah perbukitan di belakang sekolah. Mereka, dengan sisa sisa kebencian dan kemarahan yang tak terkira masih setia mengejar bulan itu, meskipun jumlahnya berkurang nyaris setengahnya, sebab setengahnya lagi terpaksa mengalah kepada terbatasnya jumlah tenaga yang dimiliki sehingga lebih memilih mengalah dan menitipkan harapannya kepada mereka yang masih bisa mengejar.

Ketika sampai di puncak bukit, tiba tiba saja bulan itu bertingkah aneh, memantul mantul di satu tempat saja, di sebuah tanah datar di puncak bukit, di samping seorang perempuan berambut panjang yang entah dari mana datangnya, dan terjadilah hal yang mampu membuat mereka, para pengejar bulan, berhenti dengan jarak sekitar dua meter dari tampat bulan itu memantul mantul.

Bulan itu, masuk kedalam wajah perempuan itu. Masuk begitu saja, masuk dari kepala perempuan itu. Seperti orang menyundul bola, hanya saja bolanya tidak terpantul keluar, namun masuk kedalam kepalanya, yang seketika membuatnya menjadi perempuan dengan wajah paling terang, paling bersinar melebihi perempuan perempuan model iklan krim pemutih, yang jelas bikin iri perempuan manapun dan bikin ngiler lelaki manapun.
Tapi, mereka, pengejar bulan itu akhirnya mengenali siapa perempuan itu yang membuat wajah wajah beringas mereka berganti pucat, seperti hilang darahnya. Mereka mengenal perempuan itu, yang sepuluh tahun lalu mereka perkosa dan bakar hidup hidup setelah terlebih dahulu meratakan rumahnya dengan tanah, hanya gara gara ia bermata sipit dan berkulit putih.

Perempuan itu, dengan senyum termanisnya namun lebih dirasakan oleh mereka sebagai senyum paling pahit dari seorang perempuan paling manis, lalu memandangi mereka satu persatu.

"Aku sudah menghancurkan rumah kalian, sama seperti dulu kalian menghancurkan rumahku. Bagaimana rasanya, kehilangan sesuatu yang dulu pernah menjadi milikmu, menyakitkan bukan?"

Mereka serentak menengok kebelakang. Diterangi lampu jalan yang luput dari pantulan bulan, mereka melihat dengan sedih sebuah kenyataan bahwa rumah mereka sudah hancur, biarpun tidak hancur tapi memerlukan perbaikan disana sini sebelum bisa dihuni kembali.
Entah karena menyesal mengingat dosa masa lalu yang begitu suram, atau menyadari bahwa rumah mereka sudah terkoyak sedemikian rupa, mereka mulai terisak, terduduk lemas memegangi lutut. Mereka terus terisak menundukkan kepala, mencabik cabik rumput dengan tangan, sementara perempuan itu masih berdiri disana, dengan keanggunan yang tidak di buat buat, dengan wajah bersinar terang, senyum tersungging di mulutnya. Sepuluh tahun terlalu lama untuk menegakkan sebuah keadilan, pikirnya.

Tidak ada komentar: