Senin, 31 Desember 2007

Peri Yang Menemuiku Waktu Itu

Aku menyandarkan punggungku pada kursi kecil berwarna putih di sebuah cafe, meletakkan segelas Capucino Late, dan segera menyalakan laptopku. Sambil menunggu laptopku menyala, aku mengedarkan pandangan kesekelilingku. Didalam cafe cukup ramai, beberapa meja tampak terisi. Kebanyakan dari mereka adalah pasangan pemuda pemudi meskipun ada juga yang beserta keluraganya. Tampatku yang berada di dekat jendela memungkinkanku untuk mengamati keadaan di luar.
Mobil mobil yang melintas, pejalan kaki yang terburu buru ingin segera sampai di tempat yang di tuju. Kemudian, mataku terpaku pada sesosok perempuan disebarang jalan. Berhenti, menunggu jalanan lengang sebelum akhirnya ia melangkahkan kaki menyeberang. Rambutnya yang panjang tergerai dengan indah. Memakai kaos ketat warna merah jambu dipadu celana ketat selutut, perempuan ini berjalan menuju kearahku.

Mataku terus mengikutinya. Saat sosoknya mulai memasuki kafe, celingak celinguk sebentar sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berjalan menghampiriku. Aku merasakan jantungku berpacu lebih kencang.
Perempuan itu lalu duduk di depanku, memandangku dengan matanya yang hitam kecoklatan. “Kamu Iwan, khan?”
Aku pun dihadapkan pada sebuah perasaan yang terbagi menjadi dua. Di satu sisi aku merasa senang, karena seorang perempuan secantik dia ternyata mengetahui namaku, namun di sisi yang lain, aku juga heran, darimana ia tahu namaku, lalu apa maksudnya.

“Iya betul. Maaf, kamu siapa?”
“Apa kamu tidak mengenaliku?”
Aku mengamatinya sambil menyusun ingatan ingatan yang sekiranya bisa memberiku petunjuk siapa dirinya sebenarnya. Tapi, aku tetap tidak mengenalinya. Aku menggelengkan kepalaku.
“Baiklah aku akan memberitahumu. Aku Anindya, peri kecilmu.”

Anindya. Peri kecil. Aku merasa tidak pernah punya kenalan bernama Anindya, apa lagi seorang peri. “Aku tidak mengenalmu. Aku tidak punya peri. Lagi pula, di dunia nyata seperti ini mana ada peri. Peri hanya ada di dunia dongeng, dalam cerita cerita pengantar tidur.” Aku mencoba menjelaskan semampuku padanya. Kulihat ia hanya terseyum simpul, lalu menjentikkan jarinya ke udara.

“Itu dia!” Katanya. “Aku memang hidup dalam dunia cerita. Tepatnya cerita ceritamu. Cerita pendekmu.”
“Tapi, aku belum pernah membuat cerita yang tokohnya bernama Anindya. “
“Memang belum, tapi nanti kamu pasti akan membuatnya. Untuk itulah aku datang menemuimu.”
“Maksudmu?”
“Aku datang untuk meminta tolong.”
“Minta tolong apa?””Jangan membuat cerita yang menyedihkan dengan membawa namaku.”
Semua ini membuatku bingung. Gambar hijaunya alam pegunungan yang menjadi wallpaper laptopku tidak mampu membuatku mengerti. Semua terdengar tidak masuk di akal. Apa mungkin sebuah tokoh yang diciptakan oleh imajinasiku tiba tiba hadir dalam sosok yang nyata, ditambah lagi tokoh itu belum pernah terlintas dalam pikiranku. Bagaimana aku bisa menerima kenyataan ini.

“Aku tidak percaya.”
“Apa.”
“Kamu dengar. Aku tidak percaya. Aku tidak percaya pada semua omonganmu padaku.”
Ia mendengus kesal. Berdiri dari tempat duduknya. “Kamu mau bukti?”
Aku menganggguk penasaran ingin mengetahui bukti apakah yang ia punya.
“Apa yang ada di pikiranmu ketika mendengar kata peri.” Ia bertanya kepadaku.
“Cantik.” Sebenarnya mungkin jawaban ini tidak berguna apa apa, sebab ia memang sudah cantik. Jadi kalau menurutku peri itu cantik, ia sudah mengantongi poin pertama.

“Apa lagi.” Tantangnya.
“Sayap.” Aku yakin ia tidak akan bisa membuktikannya. Tapi, mungkin jawabanku salah.
Kedua tangan perempuan itu memgang ujung bawah kaosnya, lalu perlahan namun pasti menariknya keatas sehingga sedikit demi sedikit tampaklah apa yang tadi ditutupi oleh bajunya itu. Aku harus megap megap melihatnya.

Setelah ia melepas kaosnya, kemudian tanpa memperdulikanku yang melongo bengong, persis seperti yang ada di kepalaku, ia lalu melepas kutangnya hingga tampaklah…… ‘itu’nya….yang…begitu ….indah…Aku menelan ludah.

Ketika mataku masih menatap ‘keajaiban’ itu, tiba tiba munculah keajaiban yang lain. Yang membuatku mengalihkan pandanganku. Dari balik punggungnya mengepaklah sepasang sayap kecil, namun tidak terllau kecil karena aku bisa melihatnya ketika mengembang. Benar benar sayap. Sama seperti sayap ayam, angsa, dan bangsa unggas lainnya.

Namun, pertunjukkan yang aneh bin ajaib itu segera ia akhiri. Aku celingak celinguk mengamati sekitarku. Ternyata mereka orang orang sibuk dengan urusannya sendiri. Kupikir mereka sama sekali tidak tahu apa yang terjadi barusan, atau mereka tahu tapi diam saja.

Aku menunggu perempuan itu berbicara, karena aku masih memikirkan peristiwa barusan. “Aku meminta tolong padamu, jangan membuat cerita yang menyedihkan menggunakan namaku. Mengerti.”
Ia mengulang pernyataannya yang segera menarikku ke pokok pembicaraan.
“Tapi, aku belum membuatnya.” Sanggahku.
“Memang belum. Tapi, suatu hari kamu akan membuatnya.”
“Kapan?”
“Suatu hari nanti.”
“Memangnya aku membuat cerita apa?”
“Cerita menyedihkan, ada banyak air mata yang tertumpah, darah yang mengalir, rumah yang terbakar, banjir, longor, derak pohon pohon bertumbangan. Sesuatu yang sebaiknya tidak usah terjadi.”

Aku mengusap dahiku yang ternyata masih kering meskipun aku merasa sudah lama berkeringat. Apa benar yang ia katakan. Aku akan membuat cerita seperti itu.
“Begini. Anggap saja aku percaya kata katamu. Aku, suatu hari nanti akan membuat cerita seperti yang kamu sebutkan tadi. Lantas, apa yang harus aku lakukan?”
“Buatlah cerita yang menghibur, yang membuat orang tertawa. Melupakan semua hal yang menghimpit kehidupannya. Karena percuma saja kamu menyodorkan cerita yang sudah demikian akrab dengan kehidupan mereka.”

Aku mengangguk. Terus mengangguk seakan akan sedang mendengarkan alunan musik hip hop dengan tempo yang pelan. Antara mengerti dan tidak mengerti. Meskipun sebenarnya ada beberapa hal yang kumengerti namun dari berberapa hal yang kumengerti itu masih ada beberapa hal lagi yang tidak aku mengerti. Apa kau mengerti?

Perempuan itu lalu pergi bagitu saja, tanpa sempat kutanya nomer HP dan alamat rumahnya. Mataku terus mengekor kemana ia akan pergi. Lalu, seharusnya ini sudah bisa kuduga tapi tetap saja membuatku terpana, dari punggungnya mencuat sepasang sayap merobek baju bagian belakangnya, lalu terbang.
Aku yang terpana kemudian memanggil orang yang duduk paling dekat denganku.
Menarik narik bajunya dengan tidak sabar. “Mas, lihat yang tadi enggak. Perempuan yang tadi terbang. Aneh yah?”

Orang itu, yang ternyata seorang laki laki dan seorang perempuan yang duduk di depannya tidak menjawab pertanyaanku. Hanya kemudian berdiri, keluar dari cafe, dan kejadian berikutnya persis sama dengan apa yang dilakukan oleh perempuan tadi. Sayap keluar dari punggung. Wuzz..terbang.

Disusul oleh orang orang yang berada di dalam café, di jalanan, di dalam mobil. Semua terbang. Seketika, dalam ketakjubanku, aku merasa ada yang bergerak gerak dari dalam punggungku. Gerakan itu semakin kuat. Lalu apa yang terjadi pada semua orang terjadi juga padaku. Aku punya sayap. Aku bisa terbang.

Ah, ternyata kita semua hanya tokoh dalam cerita.

Read more...