Senin, 28 Januari 2008

Kelakuan Perempuan Binal

waktu rokmu kau angkat
celana dalammu tak kulihat

Read more...

Sabtu, 26 Januari 2008

Lem

apa kau punya lem?
hatiku retak

Read more...

Mereka Ramai Ramai Mengejar Bulan

Pada malam itu bulan yang sedang membulat sempurna itu jatuh, tegak lurus ke tanah, seperti buah kelapa jatuh dari tangkainya, hanya saja yang ini dipoles cahaya jingga pucat sebesar bola basket, bulan itu pertama kali mengenai rumput basah sisa hujan sore tadi, kemudian memantul tinggi hingga jatuh lagi mengenai jalan aspal, memantul lagi dan jatuh lagi di atap rumah, jebol hingga kedalam menimbulkan suara berisik tak terkira, membangunkan penghuni rumah yang segera menyalakan lampu sementara yang lainnya menjerit demi mendapati atap rumahnya jebol atau karena ketakutan melihat benda bulat bersinar yang tentunya tidak ia sadari sebagai bulan, tiba tiba memantul dan menghancurkan lagi atap rumahnya hingga meninggalkan dua lubang
menganga sebesar bola basket dan akibatnya keadaan menjadi ramai karena pemilik rumah tadi segera keluar rumah dan memangggil manggil tetangganya, memanggil polisi, memanggil anjingnya sebelum ia sadar bahwa anjingnya sudah mati seminggu yang lalu dilindas truk, sementara bulan yang salah kaprah itu masih saja memantul mantulkan dirinya sehingga kota yang mulai terlelap itu terbangun kembali, keadaan menjadi kacau lebih kacau daripada kerusuhan yang pernah melanda kota itu sepuluh tahun yang lalu, meskipun mereka akhirnya mereka tahu setelah ada seseorang yang berteriak dan bersumpah bahwa ia melihat dengan runut kejadian yang sebenarnya bahwa bulan telah jatuh, dan mereka serempak melihat kearah langit dan mendapati langit kosong melompong padahal mereka masih ingat bahwa malam itu malam bulan purnama, barulah mereka percaya bahwa benda keparat itu adalah bulan ,benda yang telah begitu lancang melubangi atap rumah mereka, namun sebab amarah sudah mengendap di ubun ubun mereka mulai mengeluarkan segala benda benda yang mereka pikir bisa menghentikan atau menangkap bulan keparat itu, ada yang membawa samurai, golok, dan benda benda sejenis seperti halnya mereka akan bersiap mengganyang bulan keparat itu tanpa sedikitpun menyadari bahwa bulan keparat itu hanyalah benda bulat sebesar bola basket yang jatuh dari langit, bukan manusia yang bisa ditebas atau pun dibacok, tapi siapa peduli, yang ada dipikiran mereka hanyalah bagaimana menangkap lalu mengganyang benda keparat itu.

Pengejaran itu ternyata tidak segampang yang mereka kira, meskipun hampir dipastikan seluruh penghuni kota itu turut serta, dari yang masih balita hingga harus dibopong ibunya, sampai yang menyandang predikat Jompo of the year ikut mengejar meski harus ditandu oleh cucu cucunya yang masih muda dan kekar. Bulan itu masih memantul mantul menimpa apa saja yang dilewati sehingga semakin lama jumlah orang yang mengejar semakin banyak. Bulan itu, dengan segala kekuasaannya telah memantul mantulkan dirinya kesegala arah namun tidak hendak keluar dari kota itu, hanya memutar mutarkan pantulannya, menimpa apa saja yang bisa ditimpa hingga terkadang sebuah rumah bisa tertimpa dua kali bahkan sampai empat kali yang menyebabkan koyak seperti habis diterjang badai paling ganas, dan hal itu membuat mereka semakin kalut dan marah.
Mendekati pagi, daerah pantulan bulan itu tak lagi melulu di lingkungan kota itu, namun perlahan memantul kearah perbukitan di belakang sekolah. Mereka, dengan sisa sisa kebencian dan kemarahan yang tak terkira masih setia mengejar bulan itu, meskipun jumlahnya berkurang nyaris setengahnya, sebab setengahnya lagi terpaksa mengalah kepada terbatasnya jumlah tenaga yang dimiliki sehingga lebih memilih mengalah dan menitipkan harapannya kepada mereka yang masih bisa mengejar.

Ketika sampai di puncak bukit, tiba tiba saja bulan itu bertingkah aneh, memantul mantul di satu tempat saja, di sebuah tanah datar di puncak bukit, di samping seorang perempuan berambut panjang yang entah dari mana datangnya, dan terjadilah hal yang mampu membuat mereka, para pengejar bulan, berhenti dengan jarak sekitar dua meter dari tampat bulan itu memantul mantul.

Bulan itu, masuk kedalam wajah perempuan itu. Masuk begitu saja, masuk dari kepala perempuan itu. Seperti orang menyundul bola, hanya saja bolanya tidak terpantul keluar, namun masuk kedalam kepalanya, yang seketika membuatnya menjadi perempuan dengan wajah paling terang, paling bersinar melebihi perempuan perempuan model iklan krim pemutih, yang jelas bikin iri perempuan manapun dan bikin ngiler lelaki manapun.
Tapi, mereka, pengejar bulan itu akhirnya mengenali siapa perempuan itu yang membuat wajah wajah beringas mereka berganti pucat, seperti hilang darahnya. Mereka mengenal perempuan itu, yang sepuluh tahun lalu mereka perkosa dan bakar hidup hidup setelah terlebih dahulu meratakan rumahnya dengan tanah, hanya gara gara ia bermata sipit dan berkulit putih.

Perempuan itu, dengan senyum termanisnya namun lebih dirasakan oleh mereka sebagai senyum paling pahit dari seorang perempuan paling manis, lalu memandangi mereka satu persatu.

"Aku sudah menghancurkan rumah kalian, sama seperti dulu kalian menghancurkan rumahku. Bagaimana rasanya, kehilangan sesuatu yang dulu pernah menjadi milikmu, menyakitkan bukan?"

Mereka serentak menengok kebelakang. Diterangi lampu jalan yang luput dari pantulan bulan, mereka melihat dengan sedih sebuah kenyataan bahwa rumah mereka sudah hancur, biarpun tidak hancur tapi memerlukan perbaikan disana sini sebelum bisa dihuni kembali.
Entah karena menyesal mengingat dosa masa lalu yang begitu suram, atau menyadari bahwa rumah mereka sudah terkoyak sedemikian rupa, mereka mulai terisak, terduduk lemas memegangi lutut. Mereka terus terisak menundukkan kepala, mencabik cabik rumput dengan tangan, sementara perempuan itu masih berdiri disana, dengan keanggunan yang tidak di buat buat, dengan wajah bersinar terang, senyum tersungging di mulutnya. Sepuluh tahun terlalu lama untuk menegakkan sebuah keadilan, pikirnya.

Read more...

Minggu, 20 Januari 2008

Senja Merah Jambu Untuk Pacarku

Sinar matahari mulai menyengat tubuhku meskipun aku sudah mengenakan topi. Di sekelilingku hanya laut yang bergolak. Membenturkan riaknya pada badan perahu cadikku. Aku terus mengayuh dayung kearah barat. Menuju tempat dimana beberapa jam lagi matahari seakan meleleh membaur dengan awan awan. Senja. Aku sedang menanti senja. Melihat sedekat dekatnya, tapi aku tidak sedang ingin memotongnya dan menyimpan dalam sebuah amplop surat(*). Tidak. Aku hanya ingin memberikan sedikit sentuhan warna. Merah jambu. Aku akan mengubah senja menjadi merah jambu. Alasannya gampang saja. Karena pacarku menyukai warna merah jambu.

Sehari yang lalu ia berulang tahun dan sebagai seorang pacar yang baik aku hendak memberikan kado yang lain dari pada yang lain. Sebuah senja merah jambu mungkin kado yang pas, secara ia begitu menggemari warna itu. Tidak ada bagian dari dirinya yang tidak bernuansa merah jambu. Entah itu rambutnya, bajunya, celananya, bahkan mungkin celana dalamnya. Merah jambu.
Maka aku sekarang berada disini. Di kelilingi air. Mengayuh pelan pelan dayung kayu menuju kearah matahari akan melelehkan jingganya.Aku meraba sebuah pilok warna merah jambu di tas pinggangku. Tersenyum membayangkan wajah pacarku yang akan berseri seri ketika kupersembahkan kado ini untuknya.

Akhirnya aku melepas topiku, mengipaskannya ke wajahku berulang kali sampai aku merasa panas yang mendera agak sedikit menghilang. Cahaya matahari yang menghampar di permukaan air selayak permadani perak yang berkilauan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa apakah ada tanda tanda kehidupan selain aku. Dikejauhan aku melihat sebuah titik hitam yang bergerak gerak. Meskipun hanya sebuah titik, aku yakin bahwa itu sebuah perahu hanya yang aku tidak tahu itu perahu siapa dan apa tujuannya mengarungi laut sejauh ini. Tapi aku segera melupakan titik hitam itu, karena aku segera disibukkan oleh gejolak perutku yang keroncongan.

Memikirkan kado ini membuatku lupa segalanya. Antara bersemangat dan ketakutan seandainya aku tidak bisa mewujudkannya. Aku menyisir setiap bagian perahu hanya untuk menemukan kenyataan bahwa aku sama sekali tidak membawa makanan atau pun minuman. Ini tidak baik.
Aku membuka tas pinggangku dan hanya menemukan sebuah pilok merah jambu, meraba raba saku celana bagian belakang, sebuah dompet, tentu saja, meraba saku celana samping, beberapa uang receh dan sebuah Handphone.
Menemukan Handphone membuat harapan yang menguap turun kembali menjadi hujan yang menyejukkan. Aku tertolong. Aku tidak akan kelaparan.Aku segera menghubungi restoran fast food yang menyediakan delivery order., lalu menyebutkan menu apa saja yang akan kupesan. Ketika aku ditanya akan diantar kemana pesananku, sejenak aku terdiam, memeikirkan dimana aku sekarang.

“Di laut.” Jawabku. Tidak ada kata kata yang terdengar, mungkin orang itu kebingungan. Akhirnya ku berkata lagi, bermaksud untuk memperjelas.
“Laut Jawa. Pergilah kearah matahari tenggelam, nanti kau akan melihat perahu cadik berwarna hijau. Aku sendiri memakai baju warna kuning, dan juga, ehm..topi, yah betul , topi warna hitam.”
Kemudian orang itu mengakhiri pembicaraan kami setelah mengulang kembali apa yang sudah aku pesan.

Aku membaringkan tubuhku sembari menunggu pesananku datang. Melihat lihat isi Handphone, membuka inbox, membaca sms sms dari pacarku. Semuanya itu membuatku melupakan sejenak akan rasa lapar dan panas matahari.
Tidak begitu lama kemudian aku mendengar suara helicopter. Aku berdiri dan melihat helicopter merah dengan garis orange bertulisakan nama restoran tempat aku memesan makanan mendekat. Aku melambaikan tanganku berkali kali.Sebuah tangga terulur dari helicopter itu, kemudian turunlah seseorang memakai seragam yang berwarna sama dengan helicopter itu. Di tangannya memegang kantong plasitk. Makananku.

Aku lalu memakan dengan lahap dan tidak menyisakan apapun selain tulang. Aku merasakan badanku segar kembali. Segera kuambil dayung dan mengayuh kuat kuat kearah matahari tenggelam. Aku harus merubah warna matahari sekarang, biar esok bisa menjadi senja yang kuinginkan. Senja merah jambu.Diatas, matahari mulai tergelincir.

-
Sewaktu kecil aku menyukai sirop jeruk karena rasanya yang manis serta waarnanya yang menarik. Biasanya ibuku menuangkannya ke dalam cangkir porselen warna putih kesukaanku. Sebelum aku meminumnya, aku akan memandang sejenak kearah permukaan sirop yang jingga itu, dan mengkhayalkan seandainya saat itu aku mengecil dan tercemplung masuk kedalam cangkir, kemudian aku akan berenang di lautan jingga yang manis.

Dan sekarang, diatas perahu cadik ini khayalan masa kecilku kembali menyeruak. Aku benar benar berada di lautan jingga bercahaya. Dengan awan yang menggantung persis diatas kepalaku. Disepuh warna jingga dan sedikit ungu. Di depanku, matahari seperti keju yang kelebihan zat pewarna, meleleh mengalir ke laut. Desir angin membelai tubuhku. Agak sedikit dingin, sebab sebongkah awan mungkin ikut menggelayut.Aku benar benar berada di depan senja. Senja yang setiap sore menginitp rasa ketakjubanku.

Lalu, aku teringat akan tujuanku. Membuka tas pinggang, aku mengeluarkan pilok merah jambuku. Mengocoknya perlahan, menikmati denting kasar kelerang yang ada di dalamnya. Plok, plok, plok, plok.Aku mengayuh perahuku mendekat kearah matahari, berhenti menyamping di depannya.. Inti dari senja adalah matahari, jika ingin mengubah senja, mulailah dari matahari.Aku berada persis didepan matahari sekarang. Memberikan penghormatan terakhir pada senja yang jingga. Lalu tangan kananku terulur, bersiap menyapukan seluruh isi pilok ke dalam matahari. Dan kudengar seorang laki laki seperti aku berteriak.

“Tunggu!”Aku menoleh kearah suara tersebut. Sebuah perahu meluncur dengan cepat kearahku, dengan seorang laki laki didalamnya.
“Ada apa?” Tanyaku sesudah laki laki itu berada di dekatku.
“Jangan. Tidak boleh.” Katanya.
“Apa. Apa yang tidak boleh”
“Itu. Pilok itu. Aku tahu apa yang akan kamu lakukan.” Nafas memburu terdengar dari setiap kata yang ia ucapkan.
“Memangnya apa yang aku lakukan?”
Laki laki itu merogoh saku jaketnya yang tampak kebesaran itu lalu mengeluarkan sebuah tabung kecil, berwarna biru. “Sama, seperti yang akan kamu lakukan. Hanya saja dengan warna yang berbeda.”

Mata laki laki itu menyorot tajam kearahku yang membuat aku menjadi kesal, ditambah lagi setelah mengetahui apa tujuannya kemari. Tujuan yang berarti menggagalkan tujuanku.
Sebelum sempat aku berpikir apa yang akan sebaiknya aku lakukan, laki laki itu melompat ke dalam perahuku, berusaha merampas pilok di tanganku. Aku berusaha melawan, tapi karena serangannya yang tiba tiba di tambah dengan perahu yang terlonjak akibat loncatannya, aku terjatuh kedalam perahu. Tangannya yang masih memegang tanganku membuatnya ikut terjatuh diatasku.Sekarang ia menduduki perutku. Tangan kenannya memegang tanganku, dan tangan kirinya mencengkeram leherku kuat kuat, labih tepatnya mencekik.

Dengan menggunakan tangan kiriku yang bebas, aku berusaha melepaskan cekikan tangannya, memukul wajahnya. Ia tetap saja tidak peduli, akhirnya aku pun mencolok matanya dengan jari telunjukku. Ia segera melepaskan cekikkannya dan berteriak kesakitan. Tangannya segera memegangi kedua matanya. Ia melupakan pilok warna birunya. Terjatuh di dalam perahu.

“Mataku! Mataku!” Teriaknya. “Apa yang kau lakukan dengan mataku, bangsat!”
Sambil membetulkan kerah baju dan mengelus elus leher, aku menghampirinya, dan berhasil membuat keadaan menjadi kebalikan dari keadaan pertama yang tidak menguntungkan. Aku duduk diatasnya.“Apa kamu bilang tadi, hah!” Semprotku.

“Bangs..!"
Buk! Aku mendaratkan bogem mentah diwajahnya. “Dengar bung! Aku tidak ada waktu untuk berurusan denganmu. Jadi tolong jangan ganggu aku kali ini. Atau aku akan lebih kasar lagi padamu.”

Aku berdiri. Laki laki itu tampak memegangi mulutnya, dan menyeringai kesakitan.“Aku melakukan itu untuk sebuah alasan.” Katanya.
“Kuharap kamu mempunyai alasan yang cukup bagus.”
“Aku mencintai seorang perempuan.”
“Biru, pasti warna kesukaanya bukan?”Ia menganguk.
“Kamu tahu, aku juga mencintai seorang perempuan.” Kataku.
“Sebentar lagi semua akan terlambat. Matahari akan tenggelam. “ Aku melihat kearah matahari , bulatan jingga terangnya sudah melelah hampir seluruhnya, hanya menyisakan sepertiga bagian lagi.
“Jadi, “ Ia menyingsingkan lengan baju, membusungkan dadanya kearahku. “ antara aku dan kamu. Siapa yang akan menang.”
Aku mengerti situasinya. Ia menantangku berduel dan aku tidak punya pilihan lain. Segera kumasukkan kembali pilok merah jambuku ke dalam tas pinggang. “Bersiaplah. Semoga kamu beruntung.” Kataku.
“Kamu juga.”

-
Merah jambu. Mulanya hanya setitik menyepuh permukaan, lalu membias dengan cepat seperti air di atas kertas tisu. Merah jambu itu akhirnya sampai juga kelaut. Terpancar di awan awan. Pelan namun pasti aku merasakan perubahan itu, jingga tak lagi menyepuh cakrawala, tak lagi tercermin di riak gelombang. Hanya merah jambu.Besok, senja akan berubah untuk selamanya. Senja merah jambu.
Aku meninggalkan tempat itu. Mengayuh perahu dengan dayung yang tinggal setengah, patah. Meninggalkan matahari merah jambu yang esok akan menjadi senja yang merah jambu. Serta meninggalkan seonggok tubuh terapung disamping patahan sebuah dayung.Terkadang, demi cinta aku bisa menjadi apa saja.

(* )Baca cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku - Seno Gumira A

Read more...

Benjol

aku dilempar rindu
benjol hatiku

Read more...

Rindu Jauh

Aku belai fotomu
Sentuh waktu yang bisu
Jemariku jadi kupu kupu
Saat menatap, sekuntum mawar mekar di bibirmu

Mawar di bibirmu ternyata cantik
Rayu hati ingin memetik
Tapi, karena tanganku sudah menjadi kupu kupu
Bolehkah, kupetik dengan bibirku?

Kupu kupu jemariku terbang
Berceloteh rindu dalam bayang
Di matamu sayapnya menjelma seyumku
Di telingamu berpuisi seribu

Malam itu kuraba hatimu dari jauh
Semoga tidak membekas jadi keluh

Read more...

Jumat, 11 Januari 2008

Dirimu

seumpama
air membelai dahaga para musafir
api membakar beku yang mengulir
kertas membungkus riang yang terusir
tangan menggenggam lagu dalam desir

:dirimu dimata redupku

Read more...

Pasrah

sia sia
kurajut waktu
menutupi lukaku

Read more...

Kamis, 10 Januari 2008

Makan Malam

:kepada ayam

Aku rindu menyentuh pahamu
Meraba dan mengendus sepanjang waktu
Tentu masih lembut
Dingin seperti kabut

Aku rindu menggigit dadamu
Memainkan dengan lidahku
Tentu masih empuk
Serupa bantalan kapuk

Aku rindu memenuhi hasrat itu
Hasrat untuk memakanmu

Read more...

Bulan 2

aku pamit
ingin memadamkan bulan
agar tak salah lagi
mengira itu kau

Read more...

Baca Buku

Waktu itu aku sedang asyik membaca buku. Tiba tiba seorang teman datang dan langsung duduk di sampingku.
"Wan?" Ia memanggil namaku.
"Hmm...apa?"
Jawabku tanpa mengalihkan mataku dari buku yang kubaca. "Kalau mau ngutang ntar dulu, gw lagi sibuk nih." Kataku lagi.
"Sialan lo!" Kemudian entah karena dongkol atau apa, temanku itu pergi. Tak lama kemudian datang lagi seorang temanku yang lain. Duduk, lalu mencoel tanganku.
"Wan, wan!"
"Apaan sih." Aku terus saja cuek baca buku.
"Hoi! Hoi!" temanku mulai rese dengan menarik narik bajuku. Aku kesal.
"Kenapa sih lo. Engga tahu apa kalau gw lagi sibuk baca. Ini buku bagus banget, gw engga mau ada orang ganggu gw. Ngerti engga lo!"
Temanku agak sedikit terkejut, kemudian ia berkata.
"Sory Wan, cuma mau ngasih tahu. Itu, bukunya kebalik."

Diiingggg!!
Waktu serasa berhenti.

Read more...

Senin, 07 Januari 2008

Resep Ibu

Kata Ibu,
untuk melunakkan daging
bungkuslah dengan daun pepaya
atau baluri dengan buah nanas

Lalu aku ingat kamu,
butuh berapa lembar daun pepaya
atau berapa kilo buah nanas
untuk melunakkan hatimu?

Read more...

Episode Ngengat dan Belalang

Ngengat,
berputar di depan lampu
tersengat aku memikirkanmu

Belalang,
melompat dan terbang
tak terbilang aku merindu bayang

Read more...

Sendirian saja

Sendirian saja. Aku sendirian saja menatap perempuan itu. Mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka, yang tertutup tidak sempurna. Aku sendirian saja mengamati gerai rambutnya dan membayangkan seandainya sedetik saja aku bisa membelainya. Aku sendirian saja, tidak memberitahu temanku yang duduk disamping kiriku, yang asik bermain game di ponsel sebab aku tahu jika aku memberitahunya yang terjadi adalah ia segera bergegas menghampiri perempuan itu dan terbongkarlah rahasiaku. Aku juga tidak memberitahu temanku yang duduk disamping kananku, sebab aku tahu ia biang gosip dan aku tidak mau seantero jagad tahu perbuatanku.

Sendirian saja. Aku sendirian saja ketika hari berikutnya di suatu sore yang temaram karena senja tersiram percikan gerimis, aku menemuinya.
Memandang dengan dekat matanya yang menurutku terindah dari semua mata yang pernah kutatap. Aku menemuinya. Mengatakan sesuatu yang ingin kukatakan sebelumnya.
"Aku mencintaimu." Kataku.


Sendirian saja. Untungnya aku sendirian saja waktu itu, hingga tidak ada yang tahu ketika perempuan itu berdiri disuatu sore yang temaram karena senja tersiram percikan gerimis, lalu menampar pipiku yang kanan bergantian dengan pipiku yang kiri sampai aku merasa seperti sedang cipika cipiki dengannya, hanya saja dengan rasa yang sama sekali berbeda.
Meskipun aku sama sekali tidak mengerti dengan tingkahnya yang aneh itu, kalau memang tidak mencintaiku mengapa harus dijawab dengan tamparan, mengapa tidak dengan mulutnya saja, “maaf, aku tidak bisa”, kupikir itu lebih baik dan sopan.
Tapi aku segera tahu sebabnya. ”Itu karena kebebalanmu selama ini. Memangnya aku tidak risih tiap sore kamu berlaku seperti itu. Dan, satu lagi, aku belum mengadukan hal ini kepada suamiku. Jadi, jangan sampai aku berubah pikiran. ” Semprotnya padaku.

Hmm..Hmm...
Aku pun ber-Hmm..Hmm.. sendirian, sampai pagi. Tidak kuajak kedua temanku itu. Sendirian saja.

Read more...

Sebuah pertanyaan

Aku mencintaimu,
tidakkah itu cukup?

tapi, ternyata itu sama sekali belum cukup

Read more...

Minggu, 06 Januari 2008

Bulan

Saat ini bulan purnama,
atau aku yang terlalu dekat denganmu

Read more...