Rabu, 06 Februari 2008

Kupu Kupu Merah Jambu di Punggungmu

Pada sebuah sore yang gelisah dengan langit berteriak memaki awan awan tua yang malang, perempuan itu datang, setengah berlari menuruni jalan yang menurun curam, setelah sampai di depanku, mendorong tubuhku ke dalam dengan tiba tiba, mengunci pintu dan sebelum aku bertanya kenapa, ia menghempaskanku ke badan kursi kayu yang segera berdenyit nyaring dan membangunkan seekor cicak yang terlelap di kakinya. Cicak itu lari tunggang langgang, dan ia memekik ketakutan menjadikan aku bertanya tanya, siapa menakuti siapa.
Selepas tragedi cicak yang terlalu singkat itu. ia lalu melepas jaket warna putih kelabu yang sedang ia pakai, melemparkan ke sudut ruangan, menyisakan thank top merah jambu yang mempesona, dan berbalik memunggungiku, kemudian duduk di pangkuanku.
“Bagus enggak?”
Tangannya menuntun tanganku untuk menemukan jejak seekor kupu kupu merah jambu yang terperangkap di punggungnya. Kupu kupu merah jambu yang lucu, menurutku.
“Permanen?” Tanyaku.
“Ya enggak lah. Engak berani aku.” Ia merebahkan tubuhnya yang berbukit bukit itu ke arahku, semerbak aroma lavender menguar lembut. “Bagus enggak?” Tanyanya kembali.
Aku hanya tersenyum, mencubit pipinya yang kenyal seperti agar agar, dan ia memekik lucu, sebelum akhirnya menjadi ajang cubit cubitan yang tiada ketahuan ujung pangkalnya.

Ingatan pada sebuah sore yang gelisah itu menemuiku di sebuah taman dan berhasil mencabik cabik rasa laparku dan mengubahnya menjadi rasa heran yang tertahan. Pada sebuah daun pohon bunga sepatu aku melihat seekor kupu kupu merah jambu yang sama dengan apa yang kulihat pada punggung perempuan itu. Ini tidak masuk akal, atau aku yang terlalu naïf untuk mempercayai bahwa di dunia yang carut marut ini semua hal bisa terjadi. Namun pada akhirnya aku memutuskan untuk menangkap kupu kupu merah jambu itu tanpa mengindahkan kenyataan seandainya kupu kupu itu hanya kupu kupu biasa, bukan miliknya yang telah terbang dari kulit punggungnya.

Aku meletakkan sendok berisi siomay kembali kekerumunan siomay yang lain di sebuah piring biru transparan, dan meletakkan piring itu di bangku taman yang tadi menampung pantatku, lalu segera beranjak menuju pohon bunga sepatu yang teronggok sendirian di sudut taman, sekitar dua meter dari tempatku berdiri.
Sore yang cerah dengan burung burung emprit beterbangan dari tiang listrik, pohon pohon palem yang terserak acak, hingga akhirnya mendarat di rimbun pohon beringin tua di tengah taman. Anak anak kecil berlarian di sepanjang jalan yang bisa dilalui oleh kaki mungilnya, dan seorang perempuan duduk berdampingan seorang laki laki sementara mungkin di suatu celah yang sempit entah dimana, dua cupid sedang membidik dengan panahnya. Sore yang sempurna untuk menangkap kupu kupu, pikirku.

Tapi dua langkah pertamaku dihentikan dengan sempurna oleh teriakan parau milik si tua tukang siomay. “Mas, tunggu!”
“Apaan?” Tanyaku masih tidak mengerti.
“Bayar dulu dong, main pergi aja.” Ini baru aku mengerti, sangat mengerti. Kurogoh saku celanaku, memberikan apa yang bisa kutemukan disana, dan langsung melangkahkan kaki menuju pohon bunga sepatu, ketakutan seandainya kupu kupu itu telah terbang dan hilang jejak.
Tapi, suara parau itu kembali menghadangku. “Mas, kurang nih!” Ya ampun.

Kedua sayapnya naik turun dengan keanggunan seorang ratu. Sementara aku mendekatinya nyaris tanpa suara, meskipun kupikir sia sia saja sebab taman ini penuh dengan bising nyanyian sumbang para pendatang. Setelah aku merasa sudah dekat dengannya, aku berhenti dan dengan pelan menjulurkan tangan menggapai sayap kecilnya itu. Tapi, seperti yang sudah aku duga sebelumnya, ini tidak akan berhasil pada kesempatan pertama.

Sebuah pesawat kertas terbang meliuk hendak ke langit sebelum angin membuatnya terkapar nyungsep di rimbun pohon bunga sepatu, sejengkal dari tempat si kupu kupu. Tapi, itu sudah cukup untuk membuatnya angkat sayap dan terbang seperti hewan kesetanan, mungkin kupu kupu itu sedang tertidur bermimpi menjadi manusia, sebelum di hentakkan pesawat kertas sialan.

Tergeragap aku memicingkan mata, mengikuti perjalanan kupu kupu itu melewati pohon palem, turun ke tiang ayunan sebelum terbang lagi menuju ke pohon jeruk nyasar, dan hinggap di daunnya yang kering, namun itu tidak lama, sebab kucing kelabu dekil menggangunya, hendak mengambilnya dengan kaki kaki depannya yang kotor, mungkin kucing itu sedang lapar atau hanya iseng tidak ada kerjaan. Kupu kupu itu terbang lagi, dikerjar si kucing dan aku berjalan tergesa kearah mereka.
Kupu kupu itu terlalu cerdik untuk hinggap lagi, memaksa si kucing untuk kecewa, dan setelah sekian lompatan tiada guna si kucing pun menyerah, mengeong satu kali sebelum kembali ke taman sebagai seekor pecundang. Tapi, aku tidak hendak menjadi pecundang. Maka kuikuti terus kupu kupu itu, yang terbang setinggi tiang listrik, keluar dari taman menuju sebuah perempatan jalan beasr.

Waktu itu, mobil mobil berhenti tersihir mata merah di ujung tiang. Sebuah mobil box warna kuning berhenti paling pinggir, menjadi mobil pertama yang sampai di jangkauan si kupu kupu, lalu menclok di pintu belakang box yang di gembok dan ikut terbawa ketika si mata merah menjadi hijau terang. Ah, bagaimana ini, pikirku.
Seperti lakon dalam sebuah film action Hollywood, aku menghentikan seorang pengendara motor kecil tanpa gigi. Merobohkannya dengan sekali tending karena kupikir ia tidak akan memberikan motornya dengan sukarela.

Aku tidak menyia nyiakan waktu, sebelum pengendara sial itu bangun dan sebelum aku benar benar kehilangan jejak si kupu kupu, aku langsung tancap gas. Meliuk liuk melewati sebuah bis kota, menyalib kijang kijang tanpa tanduk, sebelum nyaris tersenggol kuda liar, akhirnya aku berhasil berada di belakang mobil box itu. Kupu kupu itu masih disana, menempel sempurna hingga membuatku heran, apa angin tidak menghempaskannya jatuh?
Ah, itu memang bukan kupu kupu biasa, pikirku.

Suara sirine mobil polisi mengalihkan perhatianku akan kupu kupu. Aku menengok kebelakang, dan mendapati dua mobil polisi berada persis dibelakangku, dan melalui speaker, seseorang dari dalam mobil itu berteriak agar aku segera berhenti. Ah, sial. Pengendara motor sial itu pasti menghubungi polisi, mengabarkan motornya di culik, dan polisi itu dengan kesigapan seorang pemburu, mulai mencariku.

Aku harus segera menangkap kupu kupu, atau aku sendiri yang tertangkap. Aku mengencangkan laju motor, memegang kemudi dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menganbil kantong plastik yang kutemukan di taman, menggoyang goyangkan sebentar agar mengembang, dan pada saat yang tepat, aku berhasil menangkap si kupu kupu, dan karena aku tidak mungkin memasukkannya kembali ke dalam saku celana, sedangkan aku memerlukan kedua tanganku untuk dapat mengemudi dengan baik demi mengindari kejaran polisi, maka aku meletakkan kantong plastik dengan kupu kupu itu di mulutku, menggigitnya sekuat tenaga.

Seseorang yang tadi berteriak dari dalam mobil polisi kembali meneriakkan perkataan yang sama, hanya di tambahi ancaman, membuatku kembali memacu, menyalib terseok seok di rimba mobil mobil. Hingga pada suatu keberuntungan yang tidak di duga duga, mobil metromini di sampingku terbatuk batuk sebelum mengeluarkan suara menghentak ban meletus, lalu oleng kanan oleng kiri, hampir mengenaiku sebelum aku menghindar dengan memutar kemudi gas lebih kencang.

Tapi, tidak dengan kedua mobil polisi itu. Mobil pertama, meskipun sempat berniat untuk menghindar, tapi apa daya, bemper belakangnya terserempet jua, dan hilang kendali, memutar tajam ke kekiri sebelum menabrak mobil polisi kedua, dan mobil polisi kedua menabrak mobil sedan di dekatnya, dan mobil sedan tersaruk menyeruduk sebuah toko roti, masuk ke dalamnya diikuti kedua mobil polisi itu, sementara mobil metro mini sudah lebih dulu terdiam di sudut warung tegal dengan asap mengepul dan orang orang berlarian. Aku melihat semuanya dari celah kecil kaca sepion. Berakhir sudah pengejaran ini.

Kubelokkan motor masuk ke dalam gang kecil, dan menggeletakkan begitu saja motor itu, dan dengan berjalan kaki aku meneruskan perjalanan, mengunjungi rumah perempuan itu. Aku mengambil kantong plastik berisi kupu kupu, mengamatinya sebentar. Kupu kupu itu lebih indah dari yang kukira, merah jambu seutuhnya, sayapnya, tubuhnya, kaki kakinya dan antenanya. Kupu kupu terindah yang pernah kulihat.

Dua kali aku mengetuk pintu rumahnya sebelum perempuan itu membukakan pintu, dan menarik tanganku masuk. Habis mandi rupanya ia, rambutnya basah jatuh memukul mukul pundaknya yang hanya tertutup tali tipis pengikat thank top berenda warna kuning miliknya. Ada apa, tanyanya. Aku pun menyerahkan kantong plastik yang kubawa, dan seperti seorang tuan mengenali peliharaannya yang kabur, ia segera mengambil kupu kupu itu dengan tangannya, dan membiarkan kupu kupu itu hinggap di jemarinya yang lentik, lalu kupu kupu itu pun terbang ke langit, melalui celah jendela yang tersingkap.

Hei, mengapa kau lepaskan lagi, protesku. Sekilas aku melihat punggungnya yang tak lagi terisi jejak apa pun, polos, putih seperti porselen, dan tentu saja mengundang birahi paling jauh sekalipun. Ia, hanya melengkungkan bibirnya, sambil merangkulkan tangannya memeluk leherku.
“Aku bosan dengan kupu kupu, aku ingin yang lain” Katanya.
“Memangnya, kamu ingin menggantinya dengan apa?”
“Ikan.”
“Ikan,” Aku segera dilanda kebingungan yang pasti, kutatap matanya yang bening itu, dan mencari jawaban disana, tapi aku tidak menemukan apa apa. “Ikan apa?”
“Ikan cupang.”
Sebelum aku mencerna jawabannya yang diluar dugaanku itu, ia lalu menarik leherku hingga rambutnya yang basah membelai wajahku, dan dengan suaranya yang mendesah ia lantas berkata: “Cupangmu, sayang.”
Ah!

Diluar sirine mobil polisi meraung raung, menggemparkan burung burung.


Read more...

Jumat, 01 Februari 2008

Puisimu

:dewi

di matamu sayang,
kusemai seribu ganggang
juga ikan ikan kerinduan
menjadi rapuh siripku
selami biru telagamu

di bibirmu sayang,
sekali dua kuhela lebah lebah
hengkang terbang kemana entah
juga semut semut tanpa nama
yang mencuri senyummu tanpa sisa

di telingamu sayang,
puisi puisi kecilku kerap gaduh
pecahkan sepi dengan gemuruh
dan kapal kapal kata berlabuh
sampai di lengangmu yang jauh

di hatimu sayang,
meringkuk pula hatiku
selalu




Read more...

Senin, 28 Januari 2008

Kelakuan Perempuan Binal

waktu rokmu kau angkat
celana dalammu tak kulihat

Read more...

Sabtu, 26 Januari 2008

Lem

apa kau punya lem?
hatiku retak

Read more...

Mereka Ramai Ramai Mengejar Bulan

Pada malam itu bulan yang sedang membulat sempurna itu jatuh, tegak lurus ke tanah, seperti buah kelapa jatuh dari tangkainya, hanya saja yang ini dipoles cahaya jingga pucat sebesar bola basket, bulan itu pertama kali mengenai rumput basah sisa hujan sore tadi, kemudian memantul tinggi hingga jatuh lagi mengenai jalan aspal, memantul lagi dan jatuh lagi di atap rumah, jebol hingga kedalam menimbulkan suara berisik tak terkira, membangunkan penghuni rumah yang segera menyalakan lampu sementara yang lainnya menjerit demi mendapati atap rumahnya jebol atau karena ketakutan melihat benda bulat bersinar yang tentunya tidak ia sadari sebagai bulan, tiba tiba memantul dan menghancurkan lagi atap rumahnya hingga meninggalkan dua lubang
menganga sebesar bola basket dan akibatnya keadaan menjadi ramai karena pemilik rumah tadi segera keluar rumah dan memangggil manggil tetangganya, memanggil polisi, memanggil anjingnya sebelum ia sadar bahwa anjingnya sudah mati seminggu yang lalu dilindas truk, sementara bulan yang salah kaprah itu masih saja memantul mantulkan dirinya sehingga kota yang mulai terlelap itu terbangun kembali, keadaan menjadi kacau lebih kacau daripada kerusuhan yang pernah melanda kota itu sepuluh tahun yang lalu, meskipun mereka akhirnya mereka tahu setelah ada seseorang yang berteriak dan bersumpah bahwa ia melihat dengan runut kejadian yang sebenarnya bahwa bulan telah jatuh, dan mereka serempak melihat kearah langit dan mendapati langit kosong melompong padahal mereka masih ingat bahwa malam itu malam bulan purnama, barulah mereka percaya bahwa benda keparat itu adalah bulan ,benda yang telah begitu lancang melubangi atap rumah mereka, namun sebab amarah sudah mengendap di ubun ubun mereka mulai mengeluarkan segala benda benda yang mereka pikir bisa menghentikan atau menangkap bulan keparat itu, ada yang membawa samurai, golok, dan benda benda sejenis seperti halnya mereka akan bersiap mengganyang bulan keparat itu tanpa sedikitpun menyadari bahwa bulan keparat itu hanyalah benda bulat sebesar bola basket yang jatuh dari langit, bukan manusia yang bisa ditebas atau pun dibacok, tapi siapa peduli, yang ada dipikiran mereka hanyalah bagaimana menangkap lalu mengganyang benda keparat itu.

Pengejaran itu ternyata tidak segampang yang mereka kira, meskipun hampir dipastikan seluruh penghuni kota itu turut serta, dari yang masih balita hingga harus dibopong ibunya, sampai yang menyandang predikat Jompo of the year ikut mengejar meski harus ditandu oleh cucu cucunya yang masih muda dan kekar. Bulan itu masih memantul mantul menimpa apa saja yang dilewati sehingga semakin lama jumlah orang yang mengejar semakin banyak. Bulan itu, dengan segala kekuasaannya telah memantul mantulkan dirinya kesegala arah namun tidak hendak keluar dari kota itu, hanya memutar mutarkan pantulannya, menimpa apa saja yang bisa ditimpa hingga terkadang sebuah rumah bisa tertimpa dua kali bahkan sampai empat kali yang menyebabkan koyak seperti habis diterjang badai paling ganas, dan hal itu membuat mereka semakin kalut dan marah.
Mendekati pagi, daerah pantulan bulan itu tak lagi melulu di lingkungan kota itu, namun perlahan memantul kearah perbukitan di belakang sekolah. Mereka, dengan sisa sisa kebencian dan kemarahan yang tak terkira masih setia mengejar bulan itu, meskipun jumlahnya berkurang nyaris setengahnya, sebab setengahnya lagi terpaksa mengalah kepada terbatasnya jumlah tenaga yang dimiliki sehingga lebih memilih mengalah dan menitipkan harapannya kepada mereka yang masih bisa mengejar.

Ketika sampai di puncak bukit, tiba tiba saja bulan itu bertingkah aneh, memantul mantul di satu tempat saja, di sebuah tanah datar di puncak bukit, di samping seorang perempuan berambut panjang yang entah dari mana datangnya, dan terjadilah hal yang mampu membuat mereka, para pengejar bulan, berhenti dengan jarak sekitar dua meter dari tampat bulan itu memantul mantul.

Bulan itu, masuk kedalam wajah perempuan itu. Masuk begitu saja, masuk dari kepala perempuan itu. Seperti orang menyundul bola, hanya saja bolanya tidak terpantul keluar, namun masuk kedalam kepalanya, yang seketika membuatnya menjadi perempuan dengan wajah paling terang, paling bersinar melebihi perempuan perempuan model iklan krim pemutih, yang jelas bikin iri perempuan manapun dan bikin ngiler lelaki manapun.
Tapi, mereka, pengejar bulan itu akhirnya mengenali siapa perempuan itu yang membuat wajah wajah beringas mereka berganti pucat, seperti hilang darahnya. Mereka mengenal perempuan itu, yang sepuluh tahun lalu mereka perkosa dan bakar hidup hidup setelah terlebih dahulu meratakan rumahnya dengan tanah, hanya gara gara ia bermata sipit dan berkulit putih.

Perempuan itu, dengan senyum termanisnya namun lebih dirasakan oleh mereka sebagai senyum paling pahit dari seorang perempuan paling manis, lalu memandangi mereka satu persatu.

"Aku sudah menghancurkan rumah kalian, sama seperti dulu kalian menghancurkan rumahku. Bagaimana rasanya, kehilangan sesuatu yang dulu pernah menjadi milikmu, menyakitkan bukan?"

Mereka serentak menengok kebelakang. Diterangi lampu jalan yang luput dari pantulan bulan, mereka melihat dengan sedih sebuah kenyataan bahwa rumah mereka sudah hancur, biarpun tidak hancur tapi memerlukan perbaikan disana sini sebelum bisa dihuni kembali.
Entah karena menyesal mengingat dosa masa lalu yang begitu suram, atau menyadari bahwa rumah mereka sudah terkoyak sedemikian rupa, mereka mulai terisak, terduduk lemas memegangi lutut. Mereka terus terisak menundukkan kepala, mencabik cabik rumput dengan tangan, sementara perempuan itu masih berdiri disana, dengan keanggunan yang tidak di buat buat, dengan wajah bersinar terang, senyum tersungging di mulutnya. Sepuluh tahun terlalu lama untuk menegakkan sebuah keadilan, pikirnya.

Read more...

Minggu, 20 Januari 2008

Senja Merah Jambu Untuk Pacarku

Sinar matahari mulai menyengat tubuhku meskipun aku sudah mengenakan topi. Di sekelilingku hanya laut yang bergolak. Membenturkan riaknya pada badan perahu cadikku. Aku terus mengayuh dayung kearah barat. Menuju tempat dimana beberapa jam lagi matahari seakan meleleh membaur dengan awan awan. Senja. Aku sedang menanti senja. Melihat sedekat dekatnya, tapi aku tidak sedang ingin memotongnya dan menyimpan dalam sebuah amplop surat(*). Tidak. Aku hanya ingin memberikan sedikit sentuhan warna. Merah jambu. Aku akan mengubah senja menjadi merah jambu. Alasannya gampang saja. Karena pacarku menyukai warna merah jambu.

Sehari yang lalu ia berulang tahun dan sebagai seorang pacar yang baik aku hendak memberikan kado yang lain dari pada yang lain. Sebuah senja merah jambu mungkin kado yang pas, secara ia begitu menggemari warna itu. Tidak ada bagian dari dirinya yang tidak bernuansa merah jambu. Entah itu rambutnya, bajunya, celananya, bahkan mungkin celana dalamnya. Merah jambu.
Maka aku sekarang berada disini. Di kelilingi air. Mengayuh pelan pelan dayung kayu menuju kearah matahari akan melelehkan jingganya.Aku meraba sebuah pilok warna merah jambu di tas pinggangku. Tersenyum membayangkan wajah pacarku yang akan berseri seri ketika kupersembahkan kado ini untuknya.

Akhirnya aku melepas topiku, mengipaskannya ke wajahku berulang kali sampai aku merasa panas yang mendera agak sedikit menghilang. Cahaya matahari yang menghampar di permukaan air selayak permadani perak yang berkilauan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa apakah ada tanda tanda kehidupan selain aku. Dikejauhan aku melihat sebuah titik hitam yang bergerak gerak. Meskipun hanya sebuah titik, aku yakin bahwa itu sebuah perahu hanya yang aku tidak tahu itu perahu siapa dan apa tujuannya mengarungi laut sejauh ini. Tapi aku segera melupakan titik hitam itu, karena aku segera disibukkan oleh gejolak perutku yang keroncongan.

Memikirkan kado ini membuatku lupa segalanya. Antara bersemangat dan ketakutan seandainya aku tidak bisa mewujudkannya. Aku menyisir setiap bagian perahu hanya untuk menemukan kenyataan bahwa aku sama sekali tidak membawa makanan atau pun minuman. Ini tidak baik.
Aku membuka tas pinggangku dan hanya menemukan sebuah pilok merah jambu, meraba raba saku celana bagian belakang, sebuah dompet, tentu saja, meraba saku celana samping, beberapa uang receh dan sebuah Handphone.
Menemukan Handphone membuat harapan yang menguap turun kembali menjadi hujan yang menyejukkan. Aku tertolong. Aku tidak akan kelaparan.Aku segera menghubungi restoran fast food yang menyediakan delivery order., lalu menyebutkan menu apa saja yang akan kupesan. Ketika aku ditanya akan diantar kemana pesananku, sejenak aku terdiam, memeikirkan dimana aku sekarang.

“Di laut.” Jawabku. Tidak ada kata kata yang terdengar, mungkin orang itu kebingungan. Akhirnya ku berkata lagi, bermaksud untuk memperjelas.
“Laut Jawa. Pergilah kearah matahari tenggelam, nanti kau akan melihat perahu cadik berwarna hijau. Aku sendiri memakai baju warna kuning, dan juga, ehm..topi, yah betul , topi warna hitam.”
Kemudian orang itu mengakhiri pembicaraan kami setelah mengulang kembali apa yang sudah aku pesan.

Aku membaringkan tubuhku sembari menunggu pesananku datang. Melihat lihat isi Handphone, membuka inbox, membaca sms sms dari pacarku. Semuanya itu membuatku melupakan sejenak akan rasa lapar dan panas matahari.
Tidak begitu lama kemudian aku mendengar suara helicopter. Aku berdiri dan melihat helicopter merah dengan garis orange bertulisakan nama restoran tempat aku memesan makanan mendekat. Aku melambaikan tanganku berkali kali.Sebuah tangga terulur dari helicopter itu, kemudian turunlah seseorang memakai seragam yang berwarna sama dengan helicopter itu. Di tangannya memegang kantong plasitk. Makananku.

Aku lalu memakan dengan lahap dan tidak menyisakan apapun selain tulang. Aku merasakan badanku segar kembali. Segera kuambil dayung dan mengayuh kuat kuat kearah matahari tenggelam. Aku harus merubah warna matahari sekarang, biar esok bisa menjadi senja yang kuinginkan. Senja merah jambu.Diatas, matahari mulai tergelincir.

-
Sewaktu kecil aku menyukai sirop jeruk karena rasanya yang manis serta waarnanya yang menarik. Biasanya ibuku menuangkannya ke dalam cangkir porselen warna putih kesukaanku. Sebelum aku meminumnya, aku akan memandang sejenak kearah permukaan sirop yang jingga itu, dan mengkhayalkan seandainya saat itu aku mengecil dan tercemplung masuk kedalam cangkir, kemudian aku akan berenang di lautan jingga yang manis.

Dan sekarang, diatas perahu cadik ini khayalan masa kecilku kembali menyeruak. Aku benar benar berada di lautan jingga bercahaya. Dengan awan yang menggantung persis diatas kepalaku. Disepuh warna jingga dan sedikit ungu. Di depanku, matahari seperti keju yang kelebihan zat pewarna, meleleh mengalir ke laut. Desir angin membelai tubuhku. Agak sedikit dingin, sebab sebongkah awan mungkin ikut menggelayut.Aku benar benar berada di depan senja. Senja yang setiap sore menginitp rasa ketakjubanku.

Lalu, aku teringat akan tujuanku. Membuka tas pinggang, aku mengeluarkan pilok merah jambuku. Mengocoknya perlahan, menikmati denting kasar kelerang yang ada di dalamnya. Plok, plok, plok, plok.Aku mengayuh perahuku mendekat kearah matahari, berhenti menyamping di depannya.. Inti dari senja adalah matahari, jika ingin mengubah senja, mulailah dari matahari.Aku berada persis didepan matahari sekarang. Memberikan penghormatan terakhir pada senja yang jingga. Lalu tangan kananku terulur, bersiap menyapukan seluruh isi pilok ke dalam matahari. Dan kudengar seorang laki laki seperti aku berteriak.

“Tunggu!”Aku menoleh kearah suara tersebut. Sebuah perahu meluncur dengan cepat kearahku, dengan seorang laki laki didalamnya.
“Ada apa?” Tanyaku sesudah laki laki itu berada di dekatku.
“Jangan. Tidak boleh.” Katanya.
“Apa. Apa yang tidak boleh”
“Itu. Pilok itu. Aku tahu apa yang akan kamu lakukan.” Nafas memburu terdengar dari setiap kata yang ia ucapkan.
“Memangnya apa yang aku lakukan?”
Laki laki itu merogoh saku jaketnya yang tampak kebesaran itu lalu mengeluarkan sebuah tabung kecil, berwarna biru. “Sama, seperti yang akan kamu lakukan. Hanya saja dengan warna yang berbeda.”

Mata laki laki itu menyorot tajam kearahku yang membuat aku menjadi kesal, ditambah lagi setelah mengetahui apa tujuannya kemari. Tujuan yang berarti menggagalkan tujuanku.
Sebelum sempat aku berpikir apa yang akan sebaiknya aku lakukan, laki laki itu melompat ke dalam perahuku, berusaha merampas pilok di tanganku. Aku berusaha melawan, tapi karena serangannya yang tiba tiba di tambah dengan perahu yang terlonjak akibat loncatannya, aku terjatuh kedalam perahu. Tangannya yang masih memegang tanganku membuatnya ikut terjatuh diatasku.Sekarang ia menduduki perutku. Tangan kenannya memegang tanganku, dan tangan kirinya mencengkeram leherku kuat kuat, labih tepatnya mencekik.

Dengan menggunakan tangan kiriku yang bebas, aku berusaha melepaskan cekikan tangannya, memukul wajahnya. Ia tetap saja tidak peduli, akhirnya aku pun mencolok matanya dengan jari telunjukku. Ia segera melepaskan cekikkannya dan berteriak kesakitan. Tangannya segera memegangi kedua matanya. Ia melupakan pilok warna birunya. Terjatuh di dalam perahu.

“Mataku! Mataku!” Teriaknya. “Apa yang kau lakukan dengan mataku, bangsat!”
Sambil membetulkan kerah baju dan mengelus elus leher, aku menghampirinya, dan berhasil membuat keadaan menjadi kebalikan dari keadaan pertama yang tidak menguntungkan. Aku duduk diatasnya.“Apa kamu bilang tadi, hah!” Semprotku.

“Bangs..!"
Buk! Aku mendaratkan bogem mentah diwajahnya. “Dengar bung! Aku tidak ada waktu untuk berurusan denganmu. Jadi tolong jangan ganggu aku kali ini. Atau aku akan lebih kasar lagi padamu.”

Aku berdiri. Laki laki itu tampak memegangi mulutnya, dan menyeringai kesakitan.“Aku melakukan itu untuk sebuah alasan.” Katanya.
“Kuharap kamu mempunyai alasan yang cukup bagus.”
“Aku mencintai seorang perempuan.”
“Biru, pasti warna kesukaanya bukan?”Ia menganguk.
“Kamu tahu, aku juga mencintai seorang perempuan.” Kataku.
“Sebentar lagi semua akan terlambat. Matahari akan tenggelam. “ Aku melihat kearah matahari , bulatan jingga terangnya sudah melelah hampir seluruhnya, hanya menyisakan sepertiga bagian lagi.
“Jadi, “ Ia menyingsingkan lengan baju, membusungkan dadanya kearahku. “ antara aku dan kamu. Siapa yang akan menang.”
Aku mengerti situasinya. Ia menantangku berduel dan aku tidak punya pilihan lain. Segera kumasukkan kembali pilok merah jambuku ke dalam tas pinggang. “Bersiaplah. Semoga kamu beruntung.” Kataku.
“Kamu juga.”

-
Merah jambu. Mulanya hanya setitik menyepuh permukaan, lalu membias dengan cepat seperti air di atas kertas tisu. Merah jambu itu akhirnya sampai juga kelaut. Terpancar di awan awan. Pelan namun pasti aku merasakan perubahan itu, jingga tak lagi menyepuh cakrawala, tak lagi tercermin di riak gelombang. Hanya merah jambu.Besok, senja akan berubah untuk selamanya. Senja merah jambu.
Aku meninggalkan tempat itu. Mengayuh perahu dengan dayung yang tinggal setengah, patah. Meninggalkan matahari merah jambu yang esok akan menjadi senja yang merah jambu. Serta meninggalkan seonggok tubuh terapung disamping patahan sebuah dayung.Terkadang, demi cinta aku bisa menjadi apa saja.

(* )Baca cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku - Seno Gumira A

Read more...

Benjol

aku dilempar rindu
benjol hatiku

Read more...