Rabu, 06 Februari 2008

Kupu Kupu Merah Jambu di Punggungmu

Pada sebuah sore yang gelisah dengan langit berteriak memaki awan awan tua yang malang, perempuan itu datang, setengah berlari menuruni jalan yang menurun curam, setelah sampai di depanku, mendorong tubuhku ke dalam dengan tiba tiba, mengunci pintu dan sebelum aku bertanya kenapa, ia menghempaskanku ke badan kursi kayu yang segera berdenyit nyaring dan membangunkan seekor cicak yang terlelap di kakinya. Cicak itu lari tunggang langgang, dan ia memekik ketakutan menjadikan aku bertanya tanya, siapa menakuti siapa.
Selepas tragedi cicak yang terlalu singkat itu. ia lalu melepas jaket warna putih kelabu yang sedang ia pakai, melemparkan ke sudut ruangan, menyisakan thank top merah jambu yang mempesona, dan berbalik memunggungiku, kemudian duduk di pangkuanku.
“Bagus enggak?”
Tangannya menuntun tanganku untuk menemukan jejak seekor kupu kupu merah jambu yang terperangkap di punggungnya. Kupu kupu merah jambu yang lucu, menurutku.
“Permanen?” Tanyaku.
“Ya enggak lah. Engak berani aku.” Ia merebahkan tubuhnya yang berbukit bukit itu ke arahku, semerbak aroma lavender menguar lembut. “Bagus enggak?” Tanyanya kembali.
Aku hanya tersenyum, mencubit pipinya yang kenyal seperti agar agar, dan ia memekik lucu, sebelum akhirnya menjadi ajang cubit cubitan yang tiada ketahuan ujung pangkalnya.

Ingatan pada sebuah sore yang gelisah itu menemuiku di sebuah taman dan berhasil mencabik cabik rasa laparku dan mengubahnya menjadi rasa heran yang tertahan. Pada sebuah daun pohon bunga sepatu aku melihat seekor kupu kupu merah jambu yang sama dengan apa yang kulihat pada punggung perempuan itu. Ini tidak masuk akal, atau aku yang terlalu naïf untuk mempercayai bahwa di dunia yang carut marut ini semua hal bisa terjadi. Namun pada akhirnya aku memutuskan untuk menangkap kupu kupu merah jambu itu tanpa mengindahkan kenyataan seandainya kupu kupu itu hanya kupu kupu biasa, bukan miliknya yang telah terbang dari kulit punggungnya.

Aku meletakkan sendok berisi siomay kembali kekerumunan siomay yang lain di sebuah piring biru transparan, dan meletakkan piring itu di bangku taman yang tadi menampung pantatku, lalu segera beranjak menuju pohon bunga sepatu yang teronggok sendirian di sudut taman, sekitar dua meter dari tempatku berdiri.
Sore yang cerah dengan burung burung emprit beterbangan dari tiang listrik, pohon pohon palem yang terserak acak, hingga akhirnya mendarat di rimbun pohon beringin tua di tengah taman. Anak anak kecil berlarian di sepanjang jalan yang bisa dilalui oleh kaki mungilnya, dan seorang perempuan duduk berdampingan seorang laki laki sementara mungkin di suatu celah yang sempit entah dimana, dua cupid sedang membidik dengan panahnya. Sore yang sempurna untuk menangkap kupu kupu, pikirku.

Tapi dua langkah pertamaku dihentikan dengan sempurna oleh teriakan parau milik si tua tukang siomay. “Mas, tunggu!”
“Apaan?” Tanyaku masih tidak mengerti.
“Bayar dulu dong, main pergi aja.” Ini baru aku mengerti, sangat mengerti. Kurogoh saku celanaku, memberikan apa yang bisa kutemukan disana, dan langsung melangkahkan kaki menuju pohon bunga sepatu, ketakutan seandainya kupu kupu itu telah terbang dan hilang jejak.
Tapi, suara parau itu kembali menghadangku. “Mas, kurang nih!” Ya ampun.

Kedua sayapnya naik turun dengan keanggunan seorang ratu. Sementara aku mendekatinya nyaris tanpa suara, meskipun kupikir sia sia saja sebab taman ini penuh dengan bising nyanyian sumbang para pendatang. Setelah aku merasa sudah dekat dengannya, aku berhenti dan dengan pelan menjulurkan tangan menggapai sayap kecilnya itu. Tapi, seperti yang sudah aku duga sebelumnya, ini tidak akan berhasil pada kesempatan pertama.

Sebuah pesawat kertas terbang meliuk hendak ke langit sebelum angin membuatnya terkapar nyungsep di rimbun pohon bunga sepatu, sejengkal dari tempat si kupu kupu. Tapi, itu sudah cukup untuk membuatnya angkat sayap dan terbang seperti hewan kesetanan, mungkin kupu kupu itu sedang tertidur bermimpi menjadi manusia, sebelum di hentakkan pesawat kertas sialan.

Tergeragap aku memicingkan mata, mengikuti perjalanan kupu kupu itu melewati pohon palem, turun ke tiang ayunan sebelum terbang lagi menuju ke pohon jeruk nyasar, dan hinggap di daunnya yang kering, namun itu tidak lama, sebab kucing kelabu dekil menggangunya, hendak mengambilnya dengan kaki kaki depannya yang kotor, mungkin kucing itu sedang lapar atau hanya iseng tidak ada kerjaan. Kupu kupu itu terbang lagi, dikerjar si kucing dan aku berjalan tergesa kearah mereka.
Kupu kupu itu terlalu cerdik untuk hinggap lagi, memaksa si kucing untuk kecewa, dan setelah sekian lompatan tiada guna si kucing pun menyerah, mengeong satu kali sebelum kembali ke taman sebagai seekor pecundang. Tapi, aku tidak hendak menjadi pecundang. Maka kuikuti terus kupu kupu itu, yang terbang setinggi tiang listrik, keluar dari taman menuju sebuah perempatan jalan beasr.

Waktu itu, mobil mobil berhenti tersihir mata merah di ujung tiang. Sebuah mobil box warna kuning berhenti paling pinggir, menjadi mobil pertama yang sampai di jangkauan si kupu kupu, lalu menclok di pintu belakang box yang di gembok dan ikut terbawa ketika si mata merah menjadi hijau terang. Ah, bagaimana ini, pikirku.
Seperti lakon dalam sebuah film action Hollywood, aku menghentikan seorang pengendara motor kecil tanpa gigi. Merobohkannya dengan sekali tending karena kupikir ia tidak akan memberikan motornya dengan sukarela.

Aku tidak menyia nyiakan waktu, sebelum pengendara sial itu bangun dan sebelum aku benar benar kehilangan jejak si kupu kupu, aku langsung tancap gas. Meliuk liuk melewati sebuah bis kota, menyalib kijang kijang tanpa tanduk, sebelum nyaris tersenggol kuda liar, akhirnya aku berhasil berada di belakang mobil box itu. Kupu kupu itu masih disana, menempel sempurna hingga membuatku heran, apa angin tidak menghempaskannya jatuh?
Ah, itu memang bukan kupu kupu biasa, pikirku.

Suara sirine mobil polisi mengalihkan perhatianku akan kupu kupu. Aku menengok kebelakang, dan mendapati dua mobil polisi berada persis dibelakangku, dan melalui speaker, seseorang dari dalam mobil itu berteriak agar aku segera berhenti. Ah, sial. Pengendara motor sial itu pasti menghubungi polisi, mengabarkan motornya di culik, dan polisi itu dengan kesigapan seorang pemburu, mulai mencariku.

Aku harus segera menangkap kupu kupu, atau aku sendiri yang tertangkap. Aku mengencangkan laju motor, memegang kemudi dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menganbil kantong plastik yang kutemukan di taman, menggoyang goyangkan sebentar agar mengembang, dan pada saat yang tepat, aku berhasil menangkap si kupu kupu, dan karena aku tidak mungkin memasukkannya kembali ke dalam saku celana, sedangkan aku memerlukan kedua tanganku untuk dapat mengemudi dengan baik demi mengindari kejaran polisi, maka aku meletakkan kantong plastik dengan kupu kupu itu di mulutku, menggigitnya sekuat tenaga.

Seseorang yang tadi berteriak dari dalam mobil polisi kembali meneriakkan perkataan yang sama, hanya di tambahi ancaman, membuatku kembali memacu, menyalib terseok seok di rimba mobil mobil. Hingga pada suatu keberuntungan yang tidak di duga duga, mobil metromini di sampingku terbatuk batuk sebelum mengeluarkan suara menghentak ban meletus, lalu oleng kanan oleng kiri, hampir mengenaiku sebelum aku menghindar dengan memutar kemudi gas lebih kencang.

Tapi, tidak dengan kedua mobil polisi itu. Mobil pertama, meskipun sempat berniat untuk menghindar, tapi apa daya, bemper belakangnya terserempet jua, dan hilang kendali, memutar tajam ke kekiri sebelum menabrak mobil polisi kedua, dan mobil polisi kedua menabrak mobil sedan di dekatnya, dan mobil sedan tersaruk menyeruduk sebuah toko roti, masuk ke dalamnya diikuti kedua mobil polisi itu, sementara mobil metro mini sudah lebih dulu terdiam di sudut warung tegal dengan asap mengepul dan orang orang berlarian. Aku melihat semuanya dari celah kecil kaca sepion. Berakhir sudah pengejaran ini.

Kubelokkan motor masuk ke dalam gang kecil, dan menggeletakkan begitu saja motor itu, dan dengan berjalan kaki aku meneruskan perjalanan, mengunjungi rumah perempuan itu. Aku mengambil kantong plastik berisi kupu kupu, mengamatinya sebentar. Kupu kupu itu lebih indah dari yang kukira, merah jambu seutuhnya, sayapnya, tubuhnya, kaki kakinya dan antenanya. Kupu kupu terindah yang pernah kulihat.

Dua kali aku mengetuk pintu rumahnya sebelum perempuan itu membukakan pintu, dan menarik tanganku masuk. Habis mandi rupanya ia, rambutnya basah jatuh memukul mukul pundaknya yang hanya tertutup tali tipis pengikat thank top berenda warna kuning miliknya. Ada apa, tanyanya. Aku pun menyerahkan kantong plastik yang kubawa, dan seperti seorang tuan mengenali peliharaannya yang kabur, ia segera mengambil kupu kupu itu dengan tangannya, dan membiarkan kupu kupu itu hinggap di jemarinya yang lentik, lalu kupu kupu itu pun terbang ke langit, melalui celah jendela yang tersingkap.

Hei, mengapa kau lepaskan lagi, protesku. Sekilas aku melihat punggungnya yang tak lagi terisi jejak apa pun, polos, putih seperti porselen, dan tentu saja mengundang birahi paling jauh sekalipun. Ia, hanya melengkungkan bibirnya, sambil merangkulkan tangannya memeluk leherku.
“Aku bosan dengan kupu kupu, aku ingin yang lain” Katanya.
“Memangnya, kamu ingin menggantinya dengan apa?”
“Ikan.”
“Ikan,” Aku segera dilanda kebingungan yang pasti, kutatap matanya yang bening itu, dan mencari jawaban disana, tapi aku tidak menemukan apa apa. “Ikan apa?”
“Ikan cupang.”
Sebelum aku mencerna jawabannya yang diluar dugaanku itu, ia lalu menarik leherku hingga rambutnya yang basah membelai wajahku, dan dengan suaranya yang mendesah ia lantas berkata: “Cupangmu, sayang.”
Ah!

Diluar sirine mobil polisi meraung raung, menggemparkan burung burung.


Tidak ada komentar: